INFASTRUKTUR KEARIAN
NAMA : TOMMY KAMARUDDIN
STAMBUK : 16 630 114
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar
Belakang Masalah
Pembangunan bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Peran
pemerintah sebagai mobilisator pembangunan sangat strategis dalam mendukung
peningkatan kesejahteraan masyarakat serta pertumbuhan ekonomi negaranya.
Dewasa ini kebutuhan dunia akan infrastruktur terus meningkat seiring dengan
meningkatnya aktivitas ekonomi. Dalam jangka panjang, GDP dunia
diperkirakan akan tumbuh kuat dan mungkin bisa mencapai dua kali
lipat selama periode tahun
2030. Pertumbuhan ekonomi tertinggi diperkirakan
terjadi di wilayah Asia/ Pasifik, Cina dan India.
Sejalan dengan prediksi
pertumbuhan ekonomi dunia, kebutuhan akan infrastruktur juga akan terus
meningkat. Secara umum, perkembangan infrastruktur Indonesia, di
nilai jalan di tempat dan tidak mampu mengejar pertumbuhan ekonomi
serta kemajuan di negara lain. Kondisi infrastruktur secara umum diperkirakan
belum akan banyak berubah, kendati beberapa langkah terobosan sudah
ditempuh. Diperkirakan listrik merupakan infrastruktur
yang akan lebih dulu pulih disusul dengan jalan raya, terutama
jalan tol, tetapi infrastruktur lain masih jauh tertinggal dengan negara lain.
Gambaran lebih buruk
terlihat pada infrastruktur yang terkait dengan masyarakat, seperti pengairan,
sanitasi, air bersih, dan angkutan umum massal, yang semestinya menjadi
prioritas. Hal di atas menunjukkan bahwa pembangunan infrastruktur
masih merupakan tantangan besar yang harus diatasi.
Pemerintah terus
berupaya menggenjot pembangunan infrastruktur, namun banyak kendala
yang dihadapi, mulai dari masalah pendanaan hingga persoalan teknis
di lapangan. Meskipun kemampuan pemerintah dalam mengalokasikan anggaran untuk
pembangunan infrastruktur masih terbatas, pemerintah dapat membangun infrastruktur
melalui skema pembiayaan Kerja Sama Pemerintah-Swasta (Public Privat Part
nership-PPP), untuk melakukan skema tersebut, diperlukan adanya tata kelola
(good governance) yang baik dalam pengelolaan proyek.
Berdasarkan gambaran di
atas, maka perlu dilakukan kajian untuk mengetahui sejauh mana kaitannya good
governance dalam pengelolaan proyek-proyek infrastruktur yang dilakukan dengan
kerjasama antara Pemerintah dengan Swasta. Sehingga akan menghasilkan
rekomendasi yang bermanfaat dalam menjalankan investasi public yang lebih
berkelanjutan pada proyek-proyek infrastruktur.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah dipaparkan
diatas maka dapat dinyatakan rumusan masalah sebagaiberikut:
1. Bagaimanakah
keadaaan insfrakstruktur di Indonesia?
2. Apakah
permasalahan Infrastruktur di Indonesia?
3. Bagaimanakah
perbandingan Infrastruktur di Indonesia dengan Negara lain?
4. Bagaimanakah
Good Governance terhadap Infrastruktur di Indonesia?
1.3 Tujuan
Penulisan
Adapun tujuan yang menjadi dasar penulisan paper
ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk
mengetahui dan menganalisis keadaaan insfrakstruktur di Indonesia.
2. Untuk
mengetahui dan menganalisis permasalahan Infrastruktur di Indonesia.
3. Untuk
mengetahui dan menganalisis Infrastruktur di Indonesia dengan Negara lain.
4. Untuk
mengetahui dan menganalisis Good Governance terhadap Infrastruktur di
Indonesia.
1.4 Manfaat
Penulisan
Manfaat dari penulisan
paper ini adalah :
1. Memberikan suatu
pemikiran serta wawasan kepada mahasiswa dan pembaca tentang keadaan, dan
permasalahan Governance dalam penyediaan insfrakstruktur di Indonesia. Dan
perbandinganinsfrakstruktur di Indonesia dan di negara lain.
2. Serta memberikan
pengetahuan tentang good governance dalam insfrakstruktur di Indonesia kepada
pembaca.
BAB II
KAJIAN TEORI
2.1. Infrastruktur
Pengertian
Infrastruktur, menurut Grigg (1988) infrastruktur merupakan sistem fisik yang
menyediakan transportasi, pengairan, drainase, bangunan gedung dan fasilitas
public lainnya, yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia baik
kebutuhan sosial maupun kebutuhan ekonomi. Pengertian ini merujuk pada
infrastruktur sebagai suatu sistem. Dimana infrastruktur dalam sebuah sistem
adalah bagian-bagian berupa sarana dan prasarana (jaringan) yang tidak
terpisahkan satu sama lain.
Infrastruktur sendiri dalam
sebuah sistem menopang sistem sosial dan sistem ekonomi sekaligus menjadi
penghubung dengan sistem lingkungan. Ketersediaan infrastruktur
memberikan dampak terhadap sistem sosial dan sistem ekonomi yang ada di
masyarakat. Oleh karenanya, infrastruktur perlu dipahami sebagai dasar-dasar
dalam mengambil kebijakan (Kodoatie, 2005)
Gambar 2.1
Sistem rekayasa dan
manajemen infrastruktur berpengaruh terhadap sistem tata guna lahan yang pada
akhirnya membangun suatu kegiatan. Hubungan pembangunan infrastruktur terhadap
sistem tata guna lahan tersebut ditegaskan oleh Grigg dan Fontane (2000) seperti
pada gambar 2.1 diatas. Rekayasa dan Manajemen Infrastruktur dalam memanfaatkan
sumberdaya dalam rangka pemanfaatan untuk transportasi, infrastruktur, keairan,
limbah, energi, serta bangunan dan struktur membentuk dan mempengaruhi sistem
ekonomi, sosial-budaya, kesehatan dan kesejahteraan.
Infrastruktur merupakan
prasarana publik paling mendasar guna mendukung kegiatan ekonomi suatu negara.
Ketersediaan infrastruktur sangat menentukan tingkat efisiensi dan efektivitas
kegiatan ekonomi. Mengingat vitalnya infrastruktur bagi pembangunan ekonomi,
maka pembangunan infrastruktur menjadi kewajiban pemerintah sepenuhnya.
2.2. Good
Governance dan Infrastruktur
Dalam penelitiannya,
Kaufman, Kraay, dan Zoido-Lobatón (2009) menyimpulkan bahwa terdapat hubungan
langsung antara good governance, stable government, dan
kondisi sosial-ekonomi. Riset dilakukan terhadap lebih dari 150 negara dengan
menggunakan enam indikator, yaitu: (i) voice & accountability,
(ii) political instability & violence,
(iii) government effectiveness, (iv) regulatory burden,
(v) rule of law dan (vi) graft. Dari berbagai indikator di atas,
diperoleh ukuran yang disebut Worldwide Governance Indicators (WGI),
yang dapat memberikan gambaran perbandingan antar negara dalam mengelola
pemerintahannya. Berdasarkan penelitian tersebut, dapat dilihat
perkembangan good governance Indonesia dalam periode 1998–2010
dengan enam indikator utama yakni control of corruption, political
stability and absence of violence, voice accountability, rule of law, regulatory
quality dan government effectiveness. Gambaran
perkembangan good governance Indonesia dapat dilihat pada gambar 1 berikut ini
:
Gambar 1: Percentile
Ranking of Indonesia
Sumber : Worldwide
Governance Indicators
Catatan : Angka 0 menunjukkan kondisi paling
buruk dan 60 paling baik
Dalam era otonomi
daerah, dituntut peranan pemerintah daerah untuk memberikan kesejahteraan
kepada masyarakat daerahnya dengan penyediaan public services (pelayanan
public) yang sangat dibutuhkan. Pergeseran paradigma dari good
government menuju good governance (local governance), akan
melibatkan hubungan antara pemerintah daerah dengan masyarakatnya dalam
kegiatan/urusan urusan pemerintahan. Dalam good governance harus
ada keseimbangan antara publik, privat dan sosial/masyarakat. Dengan demikian
desentralisasi/otonomi tidak hanya berupa penyerahan wewenang dari pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah, tetapi juga penyerahan wewenang kepada
masyarakat (J.B. Kristiadi :1994). Berkiatan dengan ini, bagaimana posisi
pemerintah daerah dalam penyediaan public services yang
melibatkan partisipasi privat dan masyarakat.
2.3. Infrastruktur
sebagai Public Service yang Utama
Penyediaan Pelayanan
yang paling diperlukan adalah Infrastruktur, definisi Infrastuktur menurut The
Routladge Dictionary of Modern Economics (1996) adalah pelayanan utama dari
suatu Negara yang membantu kegiatan ekonomi dan kegiatan masyarakat supaya
terjamin kelangsungannya dengan menyediakan fasilitas public, dalam majalah
Priority Outcome No 3 Pebruari 2003, Infrastruktur dibagi 3, yaitu:
a. Infrastruktur
Ekonomi, merupakan aset yang menyediakan jasa dan digunakan dalam produksi dan
konsumsi final meliputi:
1) Public
utilities (telekomunikasi, air minum, sanitasi dan gas),
2) Public
works (jalan, bendungan, saluran irigasi dan drainase)
3) Transportation
(jalan kereta api, lapangan terbang dan pelabuhan)
b. Infrastruktur
Sosial, merupakan asset yang mendukung kesehatan dan keahlian masyarakat,
meliputi:
1) Pendidikan
(Sekolah, Universitas & Perpustakaan)
2) Kesehatan
(Rumah Sakit, Puskesmas)
3) Rekreasi
(Taman, Museum)
c. Infrastuktur
Administrasi/Institusi ( Penegakan Hukum, Pertahanan & Keamanan, dan
Kebudayaan)
Data empiris menunjukkan
terdapat hubungan yang kuat antara ketersediaan infrastruktur dasar dengan
perekonomian. Hasil studi yang dilakukan David Aschauer, menyimpulkan bahwa
ketersediaan pelayanan infrastruktur merupakan faktor produksi penting.
Penelitian tersebut juga menemukan fakta bahwa menurunnya produktivitas, dapat
disebabkan oleh memburuknya ketersediaan pelayanan infrastruktur.
Sementara itu, berbagai
penelitian untuk mengukur peranan infrastruktur dalam perekonomian antara lain
dilakukan oleh World Bank yang menyatakan bahwa pertumbuhan
ekonomi sebesar satu persen ternyata terkait erat dengan pertumbuhan
ketersediaan pelayanan infrastruktur sebesar satu persen pula. Selanjutnya
penelitian-penelitian mengukur elastisitas ketersediaan infrastruktur terhadap
perekonomian dilakukan Canning, Marianne Fay, Roller dan Waverman , Calderon
dan Serven serta Marianne Fay dan Tito Yepes. Berbagai studi tersebut
menunjukkan bahwa investasi infrastruktur berdampak signifikan dan positif
terhadap perekonomian.
Permasalahannya
peningkatan permintaan tidak diimbangi dengan kemampuan Pemerintah dalam
menyediakan pendanaan untuk pembangunan infrastruktur, bahkan dari tahun ke
tahun semakin menurun kemampuan keuangan pemerintah. Untuk menjembatani
menurunnya kemampuan pemerintah dalam mendanai infrastruktur, maka dikembangkan
berbagai skema pendanaan seperti Public-Private Parthership, business
to business dan skema SPV.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Keadaan Infrastruktur di Indonesia
Sebagai
negara berkembang, pembangunan infrastruktur di Indonesia menjadi salah satu
hal yang penting dan fundamental. Hal ini dikarenakan infrastruktur yang baik
tentu akan berdampak pada kesejahteraan masyarakat serta perekonomian nasional.
Infrastruktur seperti jalan, listrik, sumber daya air, transportasi dan
kesehatan serta pemukiman perlu dikelola dengan baik oleh negara.
Melalui pembangunan
infrastruktur diharapkan pertumbuhan ekonomi dan sosial yang berkeadilan dapat
dicapai dan daya saing ekonomi nasional secara global dapat ditingkatkan yang
tentunya akan berdampak pada kesejahteraan masyarakat itu sendiri.
Perkembangan
infrastruktur yang diharapkan selalu berkembang lebih baik, tapi faktanya
bertahun-tahun saat ini perkembangan infrastruktur di Indonesia malah sangat
mencemaskan.
Pembangunan infrastruktur dirasakan tidak merata diseluruh wilayah Indonesia.
Dapat dilihat terdapat ketimpangan dalam pembangunan infrastruktur antara
Kawasan Barat Indonesia (KBI) dengan Kawasan Timur Indonesia (KTI), secara umum
diketahui bahwa infrastruktur di Pulau Jawa lebih maju jika dibandingkan dengan
infrastruktur di luar Pulau Jawa. Misalnya, panjang jalan di Indonesia hampir
mencapai hampir sepertiganya berada di Pulai Jawa, 80% kapasitas listrik
nasional berada di sistem Jawa-Madura-Bali (JAMALI). Demikian pula sambungan
telepon dan kapasitas air bersih yang lebih dari setengahnya berada di Pulau
Jawa-Bali. Ketimpangan dapat dilihat dari besarnya investasi yang berada di Pulau
Jawa, padahal luasnya hanya mencakup 7% dari seluruh wilayah Indonesia. Pulau
Jawa merupakan penyumbang PDB terbesar Indonesia menghasilkan lebih dari 60%
total output Indonesia (BPS, 2007).
Dapat dilihat keadaan
infrastruktur di Indonesia adalah sebagai berikut:
a. Infrastruktur
Jalan
Jalan merupakan
infrastruktur yang sangat dibutuhkan bagi transportasi darat. Fungsi jalan
adalah sebagai penghubung suatu wilayah dengan wilayah lainnya. Jalan merupakan
infrastruktur penting untuk memperlancar distribusi barang dan faktor produksi
antar daerah serta meningkatkan mobilitas penduduk. Secara umum kondisi
infrastruktur jalan di Indonesia masih sangat lamban dibandingkan dengan di
negara-negara tetangga lainnya (ISEI,2005). Pembangunan jalan tol di Indonesia
telah dimulai sejak 26 tahun lalu, namun total panjang jalan tol yang telah
dibangun saat ini hanya 570 kilometer (km). Selain itu panjang jaringan non-tol
di Indonesia telah mencapai 310.029 km.
Penyebaran pembangunan
jaringan jalan juga tidak merata, cenderung terpusat di Pulau Jawa dan Sumatra.
Walupun pembangunan jalan terus dilakukan, namun selama ini pembangunan
tersebut terfokus pada Kawasan Indonesia Barat. Hal ini terlihat dari total
panjang jalan yang dibangun di Sumatra dan Jawa mencapai lebih dari 60% dari
total panjang jalan secara keseluruhan.
Selain masalah
pembangunan jalan, pemeliharaan jalan yang sudah ada merupakan hal penting.
Kurangnya pemeliharaan mengakibatkan kondisi jalan mengakibatkan kondisi jalan
mudah rusak. Data dari Kementerian Pekerjaan Umum menyebutkan, saat ini secara
keseluruhan kondisi jalan rusak di Indonesia mencapai 3.800 kilometer atau 10
persen jika dibandingkan dengan total panjang jalan nasional yang mencapai
38.500 kilometer. Hampir setiap wilayah di Indonesia, tidak terlepas dari
persoalan jalan rusak. Tingkat kerusakan jalan terparah ada di wilayah III atau
di Indonesia Timur. Sekitar 17,72 persen dari total panjang jalan di wilayah
tersebut dinyatakan rusak. Pemandangan dan kondisi serupa juga terjadi di
wilayah I sepanjang Aceh hingga Lampung. Sekitar 11,84 persen dari total
panjang jalan di wilayah ini, dinyatakan rusak. Sedangkan wilayah II yang
meliputi Jawa, Kalimantan, dan Nusa Tenggara, tingkat kerusakannya mencapai
7,97 persen dari total panjang jalan yang ada.
Kerusakan jalan tidak
hanya dinikmati warga di wilayah-wilayah tersebut. Warga di ibukota dan
sekitarnya juga harus menerima kondisi jalan yang tidak sesuai harapan. Dari
total panjang jalan nasional di Jabodetabek yang mencapai 420 kilometer, 15
kilometer dinyatakan dalam kondisi rusak. Pemerintah
mengklaim kondisi jalan yang rusak ringan 0,8 persen dari keseluruhan jalan
nasional. Sedangkan kondisi jalan yang masuk kategori rusak berat sebesar 9,2
persen dari panjang jalan nasional keseluruhan 38.500 kilometer.
Dapat dikatakan secara umum,
keadaan infrastruktur jalan di Indonesia masih kurang mendukung untuk menarik
investasi, baik dari segi panjang jalan maupun keadaan jalan.
b. Infrastruktur
Listrik
Energi listrik adalah
salah satumber energi vital yang diperlukan sebagai sarana pendukung produksi
atau kehidupan sehari-hari, tenaga listrik memegang peranan penting dalam upaya
mendukung pembangunan nasional. Dapat dilihat bahwa dari tahun ke tahun
konsumsi listrik di Indonesia terus meningkat, baik dari jumlah pelanggan rumah
tangga, kelompok usaha maupun lainnya. Namun peningkatan konsumsi seharusnya
didukung oleh penambahan kapasitas produksi listrik dari pembangunan
pembangkit-pembangkit listrik baru. Sehingga pemadaman akibat kekurangan
pasokan listrik dapat dikurangi. Hal tersebut mulai dirasakan di beebagai
daerah di luar Pulau Jawa yang sering mengalami pemadaman total (black out),
contohnya di Sumatra Barat, Riau, Sumatra Selatan dan Lampung. Di Pulau Jawa
sendiripun masih sering terjadinya pemadaman listrik secara bergilir.
Menurut
Outlook Energi Nasional 2011, konsumsi energi Indonesia meningkat dari 709,1
juta SBM (Setara Barel Minyak/BOE) ke 865,4 juta SBM. Atau meningkat rata-rata
sebesar 2,2 % pertahun. Konsumsi energi ini sampai akhir tahun 2011, terbesar
masih dikuasai oleh sektor industri, dan diikuti oleh sektor rumah tangga, dan
sektor transportasi. Sepanjang tahun 2013, konsumsi listrik di Indonesia sebesar 188
terrawatt-hour atau TWh (rumah tangga 41 persen, industri 34 persen, komersial
19 persen, dan publik 6 persen), sedangkan kapasitas daya terpasang pembangkit
listrik hanya mencapai 47.128 MW.
Realisasi pertumbuhan
kebutuhan listrik pada tahun 2013 mencapai 7,8 persen, dan direncanakan pada
tahun 2014 ini akan menambah kapasitas daya pembangkit sebesar 3.605 MW atau
meningkat 7,6 persen dibandingkan tahun 2013, sehingga total kapasitas
terpasang pada akhir tahun menjadi 50.733 MW. Tambahan daya pembangkit pada
2014 tersebut berasal dari proyek percepatan 10.000 MW tahap I dan II.
Indonesia mencapai 80,51 persen atau meningkat sebesar 76,56 persen
dibandingkan bawah 50 persen adalah provinsi Papua (36,41 persen), dan provinsi
yang rasionya masih di bawah 70 persen antara lain NTT (54,77 persen), Sulawesi
Tenggara (62,51 persen), NTB (64,43 persen), Kalimantan Tengah (66,21 persen),
Sulawesi Barat (67,6 persen), Gorontalo (67,81 persen), dan Kepulauan Riau
(69,66 persen).
Kondisi infrastruktur
kelistrikan di Indonesia sangat memprihatinkan. Kapasitas pembangkit yang
dimiliki sebesar 35,33 GW (gigawatt) untuk memenuhi kebutuhan sejumlah 237 juta
jiwa. Kapasitas tersebut jauh di bawah kemampuan produksi listrik Singapura dan
Malaysia. Kapasitas pembangkit di Singapura mampu memproduksi listrik sebesar
10,49 GW untuk memenuhi kebutuhan 5,3 juta penduduk. Sementara kapasitas
pembangkit Malaysia sebesar 28,4 GW untuk kebutuhan 29 juta penduduk.
Walaupun terjadi
perkembangan infrastruktur kelistrikan, namun listrik di Indonesia di rasakan
masih jauh dari mencukupi. Akses terhadap listrik masih sulit. Saat ini sekitar 60 juta masyarakat Indonesia masih
belum mendapatkan akses listrik. Pasalnya pengadaan infrastruktur listrik masih
belum merata khsusnya diwilayah terluar dan pedalaman. Hal ini diakibatkan
karena dana yang dibutuhkan cukup besar untuk menyambung ke PLN, belum lagi
pembangkitnya ada tapi transmisinya tidak ada, sehingga membutuhkan dana yang
cukup besar.
c. Infrastruktur
Air Bersih
Air bersih merupakan
salah satu jenis sumberdaya berbasis air yang bermutu baik dan biasa
dimanfaatkan oleh manusia untuk dikonsumsi atau dalam melakukan aktivitas
sehari-hari. Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumber daya
air dimana ketersediaan air mencapai 15.500 meter kubik per kapita per tahun,
masih jauh di atas ketersediaan air rata-rata di dunia yang hanya 8.000 kubik
per tahun. Meskipun begitu, Indonesia masih saja mengalami kelangkaan air
bersih. Sekitar 119 juta rakyat Indonesia belum memiliki akses terhadap air
bersih.
Mewakili
hampir 6% dari sumber daya air dunia, secara statistik Indonesia tidak termasuk
negara dengan kelangkaan air. Namun, kini sebagian besar wilayah seperti pulau
Jawa, Bali, Sulawesi dan Nusa Tenggara Timur mengalami defisit air bersih
karena pengelolaan sumber daya air yang kurang maksimal dan diperparah dengan
populasi penduduk yang terus meningkat. Baru 29% masyarakat yang dapat
mengakses air bersih melalui perpipaan. Angka ini masih jauh dari
target pemerintah untuk tahun 2019, yaitu 60%. Sejak
tahun 1970-2013, telah terjadi penurunan permukaan air tanah yang mencapai 80%.
Hal ini menjadi salah satu faktor yang menyulitkan masyarakat dalam memperoleh
air bersih.
Pulau
Jawa merupakan pulau dengan defisit kebutuhan air bersih terbesar,
yaitu -134.102 juta m3 setiap tahunnya. Hal ini dikarenakan besarnya kebutuhan
air bersih penduduk yang melebihi ketersediaan air bersih yang ada.Untuk status air permukaan,
kondisi sungai yang ada di beberapa wilayah di Indonesia sudah jauh di atas
ambang batas layak yang disyaratkan sebagai sumber air baku. Di tahun 2010,
disebutkan bahwa tingkat kekeruhan air telah melampaui batas 1.000 NTU
(Nephelometric Turbidity Unit).
Merujuk
pada program Millenium Development Goals (MDG) 2015, target yang seharusnya
dicapai pemerintah baik untuk sanitasi dan air minum yang layak adalah sebesar
62,41 persen, namun dari fakta yang ada baru 57,35 persen penduduk yang
mendapatkan akses terhadap sanitasi dan air minum yang layak.
d. Infrastruktur
Transportasi
Transportasi sangat
penting peranannya terutama dalam meningkatkan keterjangkauan/ aksesibilitas
suatu wilayah. Dengan adanya transportasi akan memudahkan suatu wilayah dalam
menjalankan aktivitas sehari-hari. Pembangunan transportasi Indonesia saat ini
terfokus pada pembangunan di darat. Hal itu wajar karena kondisi jalan di darat
pun tergolong cukup memprihatinkan. Indonesia mempunyai panjang jalan 300.000
km tetapi kondisi jalan yang layak hanya 60% saja, sedangkan yang lain dalam
kondisi rusak ringan dan berat (Susantono, 2004). Masalah tersebut bukan
menjadi suatu alasan bagi pemerintah untuk memfokuskan pembangunan transportasi
di darat saja karena wilayah Indoensia sebagian besar adalah wilayah lautan.
Juga banyaknya kecelakaan
yang terjadi di Indonesia pada dua tahun terakhir ini menunjukkan bahwa masalah
transportasi adalah suatu masalah yang serius. Transportasi berhubungan erat
dengan manusia dan masyarakat sebagai pengguna jasa dan konsumen. Merupakan
suatu hal yang sangat ironis ketika alat transportasi yang layak telah menjadi
suatu kebutuhan primer bagi penggunanya akan tetapi, pada kenyataannya alat
transportasi yang layak tidak tersedia di masyarakat. Saat ini transportasi
yang layak dan efektif sudah menjadi bagian yang sangat penting dalam kehidupan
sehari-hari. Kebutuhan orang untuk berpindah tempat dan memindahkan barang
secara cepat dari satu lokasi ke lokasi yang lain membutuhkan alat transportasi
yang sesuai dengan kebutuhan. Saat ini alat transportasi yang dipakai tidak
hanya dituntut untuk dapat mengantarkan orang maupun barang dengan cepat akan
tetapi juga menuntut kenyamanan, keamanan dan kelayakan dari transportasi itu
sendiri.
Kecelakaan beruntun yang
terjadi pada transportasi darat, laut maupun udara terlihat seperti tidak
memberikan pilihan kepada penggunanya akan sebuah transportasi yang layak,
nyaman dan aman. Indonesia sudah dipertanyakan kelayakan transportasinya oleh
dunia. Bahkan terdapat sebuah larangan terbang bagi maskapai Indonesia yang
dikeluarkan oleh Uni Eropa merupakan suatu pukulan berat bagi Indonesia. Tidak
hanya menyatakan bahwa maskapai dan alat transportasi di Indonesia tidak layak
digunakan, larangan tersebut juga secara tidak langsung merusak nama baik
Indonesia sendiri.
Terjadinya ketidakseimbangan
pertumbuhan jumlah kendaraan dengan pertumbuhan prasarana jalan akibat tuntutan
terhadap kebutuhan angkutan baik itu angkutan pribadi, semi pribadi, dan
terutama angkutan umum jauh lebih besar daripada penyediaan prasarana jalan.
Hal inilah yang akhirnya menimbulkan berbagai permasalahan kota, dan kondisi
ini hanya dapat diatasi dengan optimalisasi penggunaan angkutan umum.
Kondisi angkutan umum di
Indonesia, terutama di pada kota-kota besar di Indonesia, memiliki tingkat
pelayanan yang buruk. Hal ini tercermin dari terdapatnya ketidakamanan dan
ketidaknyamanan penumpang ketika menggunakan angkutan umum akibat angkutan umum
yang melebihi muatan, pengemudi yang ugal-ugalan, rawannya tindakan kriminal,
dan banyak lagi indikator lain mengenai keburukan pelayanan angkutan umum di
Indonesia. Selain itu, angkutan umum tidak lagi efektif dan efisien dalam
penggunaannya dibandingkan angkutan pribadi seperti banyaknya jumlah
perpindahan angkutan untuk mencapai tujuan, frekuensi dan waktu tunggu angkutan
umum yang tidak terjadwal, serta jarak berjalan calon penumpang yang cukup
besar untuk mencapai angkutan umum, terutama pada kota-kota kecil dan daerah
pedesaan. Kondisi inilah yang pada akhirnya akan mendorong calon pengguna
angkutan umum untuk menggunakan angkutan pribadi dalam melakukan pergerakannya,
yang kemudian menimbulkan peningkatan pergerakan dengan angkutan pribadi serta
menyebabkan munculnya berbagai permasalahan transportasi kota seperti
penumpukan moda transportasi pada jaringan jalan kota, pencemaran suara dan
udara, kecelakaan lalu lintas, dan permasalahan transportasi lainnya, sehingga
konsekuensinya adalah perlu diadakannya intervensi terhadap sistem angkutan
umum dan sistem transportasi kota.
Tanpa adanya suatu
sistem transportasi yang layak dan aman, perpindahan orang maupun barang akan
menjadi suatu hal yang tidak mungkin dan sulit dilakukan. Sudah saatnya
dilakukan perbaikan dan pengkajian ulang atas sistem transportasi yang ada di
Indonesia. Kasus–kasus tersebut mampu menjadi kajian tersendiri didalam
memperbaharui sistem transportasi publik di masa mendatang.
e. Infrastruktur
Kesehatan
Salah satu faktor dalam
membangun sumberdaya manusia adalah kesehatan, kesehatan merupakan dasar bagi
produktivitas kerja. Dalam upaya mendukung peningkatan kesehatan masyarakat
maka dibutuhkan infrastruktur kesehatan yang memadai.
Kondisi infrastruktur di
Indonesia dapat dilihat dari 746 Rumah Sakit Umum Pemerintah Masih ada sekitar
126 Rumah Sakit yang tidak memiliki dokter spesialis penyakit dalam, 139 Rumah
Sakit yang tidak memiliki dokter spesialis bedah, 167 Rumah Sakit yang tidak
memiliki dokter spesialis anak, serta 117 Rumah Sakit yang tidak memiliki
dokter spesialis kandungan. Hal ini seirama dengan jumlah dokter yang tersebar
di 9005 puskesmas. Dari total puskesmas tersebut hanya sekitar 7,4 persen yang
memiliki tenaga medis (dokter gigi dan dokter umum). Itu baru dari segi
keterbatasan sumber daya tenaga kesehatan saja. Dari aspek infrastruktur
fasilitas layanan kesehatan lebih memprihatinkan lagi. Jumlah tempat tidur di
685 Rumah Sakit Umum Pemerintah hanya berjumlah 101.039 buah, dimana dari
jumlah tersebut, sebanyak 46.986 tempat tidur masuk dalam kategori kelas III.
Jumlah yang sangat minim
jika dibandingkan dengan Jumlah penduduk miskin di Indonesia yang mencapai
28.594.600 Juta jiwa. Berarti ada 608 masyarakat miskin yang berebut satu
tempat tidur kelas III di RSU Pemerintah. Belum lagi jumlah unit perawatan
intensif (ICU) yang hanya berjumlah 4.231 tempat tidur dan banyak terpusat di
Rumah Sakit Umum Perkotaan (Tipe A dan B). Ironis padahal jumlah Rumah Sakit
mayoritas masuk dalam kategori C dan D. Sangat memprihatinkan. Keprihatinan itu
diperparah oleh kondisi puskesmas yang serba terbatas.
Dari total sebanyak 9005
buah jumlah puskesmas, hanya sekitar 18,6 % atau 1.600-an Puskesmas yang masuk
dalam kategori PONED (Puskesmas PONED adalah Puskesmas Rawat Inap yang memiliki
kemampuan serta fasilitas PONED siap 24 jam untuk memberikan pelayanan terhadap
ibu hamil, bersalin dan nifas dan bayi baru lahir). Padahal Indonesia sedang
gencar-gencarnya menekan angka kematian Ibu dan Anak untuk mengejar target
MDG’s 2015 mendatang. Kondisi ini juga dipersulit dengan fakta bahwa hanya
sekitar 6,4 % dari jumlah puskesmas yang terdapat di daerah kepulauan,
mengingat Indonesia adalah Negara kepualauan terbesar di dunia. Dan yang lebih
tragis adalah hanya sekitar 1,2 % dari 9005 Puskesmas yang terdapat di wilayah
perbatasan, wilayah yang sejatinya menentukan harkat dan martabat bangsa
Indonesia.
3.2 Permasalahan Infrastruktur di Indonesia
Pembangunan
infrastruktur di Indonesia masih menghadapi kendala yaitu belum memadainya
aksesibilitas dan jangkauan pelayanan terhadap sarana dan prasarana
infrastruktur antar daerah, seperti listrik yang murah, transportasi,
telekomunikasi, irigasi, serta perumahan dan permukiman. Kondisi tersebut
menjadi tantangan serius dalam upaya pencapaian target pembangunan di
Indonesia, yakni untuk mengurangi separuh penduduk yang tidak memiliki akses
terhadap air minum dan sanitasi yang layak, serta pengurangan separuh penduduk
miskin yang menghuni permukiman kumuh. Di sisi lain, kurangnya dukungan sistem
jaringan infrastruktur yang mampu menghubungkan antarwilayah (domestic
connectivity), teknologi dan sistem informasi handal mengakibatkan sistem
logistik nasional berjalan kurang efisien dan efektif. Selanjutnya, hal ini
akan menjadi hambatan utama dalam pengembangan koridor-koridor utama ekonomi
yang berdaya saing, terutama di kawasan timur Indonesia. Sistem transportasi
nasional belum mampu menyediakan pelayanan yang handal dan efisien. Berikut
terdapat berbagai permasalahan esensial infrastruktur di Indonesia:
a. Infrastruktur
Jalan
Kita
memperhatikan, bahwa setiap tahun pemerintah secara khusus menyiapkan sejumlah
anggaran untuk memperbaiki infrastruktur jalan. Di sini terdapat dua persaolan
yang mengemuka, yaitu: pertama, tidak jelasnya rencana umum pembangunan
infrastruktur secara nasional, mencakup aspek pemerataan sampai ke seluruh
pelosok daerah, dan dibangun seturut skema industrialisasi nasional. Hal ini
penting, mengingat mayoritas infrastruktur jalan darat yang ada saat ini masih
merupakan warisan kolonial yang bercorak eksploitasi kota terhadap desa, pusat
terhadap daerah, daerah Jawa terhadap daerah Non-Jawa, dan luar negeri terhadap
dalam negeri. Kedua, masalah lambannya implementasi pembangunan maupun
perbaikan infrastruktur jalan. Kelambanan ini relevan dengan lemahnya strategi
pembiayaan yang berdampak pada sedikitnya anggaran negara yang tersedia untuk
kebutuhan ini. Namun masalah keterbatasan anggaran bukanlah segalanya.
Beberapa Contoh Proyek Infrastruktur
Jalan dan Permasalahan.
No
|
Proyek
|
Permasalahan
|
1
|
Jalan Tol Jakarta outer ring road west 2 (JORR W-2)
|
Warga mengancam tidak memberikan lahannya untuk proyek
pemerintah, karena proses penetapan harga dilakukan secara sepihak oleh
panitia pengadaan tanah (P2T) Jakarta Selatan.
|
2
|
Tol Bogor-Ciawi-Sukabumi
|
Hambatan pembebasan lahan
|
3
|
Water Treatment Plant and
Distribution of Cimahi Municipal Water Supply29
|
Pembuatan feasibility study terburu-buru,
sehingga proyek dinyatakan gagal dan tidak layak, karena debit air terlalu
kecil
|
4
|
Proyek Maros Regency Water Supply (Sulawesi Selatan)
|
Tidak diterbitkannya Surat Ijin Pemanfaatan Air.
Fasilitas intake dan pipa transmisi yang sudah dibangun
dengan nilai sebesar kurang lebih Rp12 miliar menjadi tidak dapat
dimanfaatkan
|
5
|
Proyek Terminal Terpadu Karya Jaya Palembang31
|
Proyek masuk dalam Daftar Negatif Investasi
|
6
|
Fast Track Program (FTP) Tahap I32
|
Adanya keterlambatan status pendanaan, baik dari PHLN, APBN
maupun APLN sindikasi perbankan sehingga pembukaan Letter of
Credit dan proses pembayaran terkendala.
Kendala pembebasan lahan baik untuk pembangkit maupun transmisi
sebagai akibat kepemilikan ganda atas tanah, sehingga lokasi pembangkit
terpaksa digeser dan harus dilakukan penyesuaian disain kembali.
Panjangnya jalur proses perizinan yang tidak mempunyai standard
waktu yang baku
|
7
|
Tol menuju Bandara Internasional Kualanamu
|
Proyek dianggap tidak feasible, sehingga pada
waktu ditender sepi peminat.
Kendala pembebabasan lahan baik disebabkan adanya
kepemilikan ganda atas tanah maupun harga tanah yang diminta masyarakat jauh
di atas Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP)
|
8
|
Bandara Internasional Kualanamu
|
Operasional Bandara Internasional Kualanamu terhambat oleh
rumitnya pemberian izin IMB City Check-inKereta Api.
Adanya tarik ulur Tirtanadi dan Tirtauli berkenaan dengan
kewenangan dalam menyuplai air.
Kendala pembebasan lahan jalan utama (non-tol/arteri) menuju
bandara.
|
9
|
Tol Trans Sumatera
|
Tahun 2005 ditenderkan, namun tidak ada yang berminat karena
tidak feasible.
Tahun 2008 pemerintah menunjuk PT Hutama Karya untuk menggarap
Tol Trans Sumatera
Pemerintah akan memberikan dukungan agar IRR proyek meningkat.
|
10
|
Tol Semarang-Solo
|
Proyek ini dikerjakan oleh PT Trans Marga Jawa Tengah.
Proyek dibagi menjadi 2 tahap yakni tahap pertama Semarang Bawen
(sudah beroperasi) dan tahap kedua Bawen-Solo (baru dalam tahap pembebasan
lahan.
|
b. Energi
dan Ketenagalistrikan
Indonesia merupakan
Negara Kepulauan Yang Terdiri dari ± 17.508 pulau besar dan kecil dengan garis
pantai sepanjang ± 810.000 km dan luas 3.1 juta km2. Dengan jumlah desa lebih
dari 65.000 desa yang tersebar luas dibelasan ribu pulau tersebut, hanya kurang
dari setengahnya yang telah menikmati jaringan listrik negara seperti
didaerah-daerah lain masih jauh dari harapan, sebagian besar dari mereka masih
menggunakan lampu minyak tanah/patromak untuk penerangan.
Dalam memenuhi kebutuhan
tenaga listrik nasional, penyediaan tenaga listrik di Indonesia tidak hanya
semata-mata dilakukan oleh PT PLN (Persero) saja, tetapi juga dilakukan oleh
pihak swasta, yaitu Independent Power Producer (IPP),Private Power
Utility (PPU) dan Izin Operasi (IO) non bahan bakar minyak (BBM).
Ketersediaan pasokan listrik terpasang pada 2014 di angka 53.585 MW, sekitar
37.280 MW atau 70 persen diantaranya disumbang oleh pembangkit milik PLN.
Sementara IPP mengambil porsi mencapai 10.995 MW atau berkisar 20 persen, PPU
sebanyak 2.634 MW atau 5 persen, dan IO sebesar 2.677 MW atau sekitar 5 persen.
Pembangunan infrastruktur energi masih dihadapkan pada beberapa permasalahan
antara lain:
(1) Belum terpenuhinya standar pelayanan energi
dan tenaga listrik minimum bagi masyarakat dan terhambatnya peningkatan daya
saing ekonomi; (2) Intensitas kebutuhan energi dan tenaga listrik masyarakat
semakin meningkat; (3) Keterbatasan pendanaan yang disebabkan oleh kurang
menariknya iklim bisnis sektor energi bagi minat investor.; (4) ketidakpastian
hukum dan birokrasi, serta harga jual energi yang masih belum mencerminkan
nilai keekonomiannya; (5) biaya investasi awal yang tinggi bagi pengembangan
energi baru dibandingkan energi konvensional atau fosil yang disubsidi;
dan (6) masih rendahnya pemanfaatan energi baru terbarukan.
Sedangkan pembangunan ketenagalistrikan masih
dihadapkan pada permasalahan antara lain: (1) ketergantungan pada energi fosil
untuk pembangkit listrik; (2) masih terbatasnya jangkauan pelayanan penyediaan
tenaga listrik; (3) masih terbatasnya mutu dan keandalan penyediaan tenaga
listrik; dan (4) belum optimalnya penyediaan tenaga listrik oleh badan usaha
(swasta, daerah, koperasi) dan peran pemerintah daerah masih terbatas. Hal
tersebut ditunjukkan oleh rendahnya rasio elektrifikasi sebesar 67,20% dan
rasio desa berlistrik sebesar 92,5% pada akhir tahun 2010.
c. Sumber
Daya Air
Pengembangan dan
pengelolaan sumber daya air masih menghadapi permasalahan dan tantangan, antara
lain: (1) masih rendahnya tingkat keandalan tampungan air dalam rangka
konservasi dan jaminan penyediaan bagi kebutuhan air irigasi dan non-irigasi;
(2) belum optimalnya layanan jaringan irigasi akibat bencana alam; (3)
rendahnya tingkat operasi danpemeliharaan berkala, serta kurangnya pemerataan
distribusi air irigasi daerah pertanian akibat minimnya kapasitas air permukaan
terutama di bagian timur Indonesia; (4) tantangan peningkatan produksipertanian
dalam rangka pencapaian ketahanan pangan nasional dan untuk mengimbangi alih
fungsi lahan pertanian menuntut adanya pembukaan areal irigasi baru dan
memaksimalkan fungsi rawasebagai alternatif area pertanian beririgasi; (5)
semakin meningkatnya area rawan banjir dan erosi pantai dipusat pertumbuhan
ekonomi, perkotaan, industri, dan kawasan permukiman; (6) masih belum
optimalnya keterpaduan dalam pengelolaan sumber daya air sesuai dengan amanat
UU Nomor 7/2004 tentang Sumber Daya Air akibat dinamika institusi dan
kewenangan.
Pada tahun 2013, dari
sekitar dua ratus jutaan orang Indonesia, hanya 20% yang memiliki akses ke air
bersih. Sebagian besar berada di daerah perkotaan. Adapun sisanya, atau sekitar
80% masyarakat Indonesia masih mengkonsumsi air yang tidak layak untuk
kesehatan. Hal itu dibuktikan oleh penelitian Jim Woodcock, konsultan masalah
air dan sanitasi dari bank dunia, hasilnya adalah bayi di Indonesia kurang
lebih 100.000 tewas setiap tahun akibat diare, penyakit yang paling mematikan
sekunder untuk infeksi saluran pernapasan akut. Penyebab utama, jelas kurangnya
akses terhadap air bersih dan sanitasi. Menurut pendapat saya, ada dua masalah
utama yang menyebabkan kualitas air yang buruk di Indonesia. Masalah pertama
adalah kurangnya kesadaran masyarakat di Indonesia tentang lingkungan. Masih
banyak penduduk selalu mengarah pada kualitas air yang buruk di Indonesia,
terutama pada sumber daya air yang seharusnya menjadi sumber mata pencaharian.
Masalah kedua, adalah alokasi anggaran yang rendah untuk masing-masing daerah
yang digunakan untuk meningkatkan pelayanan air bersih dan sanitasi. Dua
masalah utama di atas, tampaknya tidak ada habisnya. Bahkan dari tahun ke tahun
semakin besar dan bertambah kompleks untuk ditangani.
d. Transportasi
Permasalahan yang masih
menjadi kendala dalam pembangunan transportasi, antara lain: (1) belum
optimalnya pelaksanaan program pembangunan prasarana jalan dalam mendukung
pertumbuhan ekonomi regional maupun nasional; (2) masih terjadinya kelebihan
beban kendaraan (overloading vehicles); (3) kemacetan lalu lintas pada
ruas-ruas perkotaan terutama pada kota-kota metropolitan; (4) terbatasnya
aksesibilitas pelayanan transportasi baik untuk angkutan penyeberangan,
angkutan laut, maupun transportasi udara bagi kawasan perbatasan, daerah
terpencil dan pulau-pulau terluar, baik dari ketersediaan prasarana maupun
sarananya; (5) terjadinya backlog perawatan prasarana
transportasiakibat dari keterbatasan pendanaan dan sistem perawatan yang kurang
efisien; serta (6) masih lemahnya dukungan lembaga keuangan dan perbankan
nasional dalam industri pelayaran dan perkapalan nasional.
Dalam skema Public
Private Partnership (PPP) atau Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS), keterlibatan
sektor swasta memang diharapkan mampu mendukung Masterplan Percepatan dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025, yang membutuhkan
segudang anggaran infrastruktur dalam mewujudkannya. Namun, dalam
perkembangannya, timbul permasalahan anggaran yang kian terpangkas dan
lambannya birokrasi. masih banyak swasta yang belum tertarik membangun
infrastruktur di Indonesia. Sejak 2011 sampai Juli 2013 misalnya, investasi
swasta disektor infrastruktur hanya sebesar Rp 14 triliun atau 6,06% dari total
investasi swasta yang mencapai Rp 231 triliun. Dalam periode tersebut, proyek
infrastruktur masih dominan digarap oleh BUMN dengan nilai investasi mencapai
Rp 100,5 trilliun, atau baru 55,78% dari total investasi BUMN yang mencapai Rp
173,63 triliun.
e. Infrastruktur
Kesehatan
Dalam pelayanan bidang
kesehatan di Indonesia, insentif non finansial seperti pemberian fasilitas
sarana danprasarana tempat tinggal bagi dokter spesialis, manajemen lingkungan
tempat kerja, peningkatan infrastruktur rumah sakit serta peningkatan mutu
pelayanan rumah sakit tidak mendapat perhatian sebagaimana insentif yang
bersifat finansial. Rumah sakit sebagai institusi pemberi pelayanan kesehatan
kepada masyarakat sebagai salah satu aset yang dimiliki sebagai daya tarik bagi
tenaga kesehatan belum dimanfaatkan Pemerintah Daerah secara maksimal.
Banyak studi
epidemiologi tentang pemanfaatan pelayanan kesehatan fokus pada faktor individu
dan rumah tangga yang mengabaikan peran faktor lingkungan dan pemberi
pelayanan. Hanya melakukan pengumpulan data tentang pelayanan individu
dibandingkan ketersedian fasilitas kesehatan. Akibatnya, pelayanan kesehatan
kurang maksimal dikarenakan perkembangan infrastruktur kesehatan di Indonesia
hanya terjadi di daerah perkotaan serta kurangnya pemerataan perkembangan
infrastruktur di daerah pinggiran.
3.3 Perbandingan Infrastruktur di Indonesia
dengan Negara Lain
Keadaan infrastruktur di Indonesia jika dibandingkan dengan negara-negara lain
tergolong masih rendah atau dapat dianggap belum maju. Saat ini infrastruktur
Indonesia masih menduduki rangking ke-56 dunia dan masih relatif tertinggal
dibandingkan negara-negara inti ASEAN lainnya. Dilihat
dari infrastruktur jalan, pembangunan jalan tol Indonesia kalah dengan Malaysia
yang berhasil membangun jalan tol dengan total mencapai 1.230 km, di China
panjang jalan tol mencapai lebih dari 10.000 km dan jalan arteri sekitar 1,7
juta km dengan tingkat kepadatan jalan 1.384 km/1 juta penduduk, hal ini
menunjukan kondisi pembangunan jalan di Indonesia masih jauh dibandingkan
dengan negara lain.
Menurut
data World Economic Forum (WEF), ranking infrastruktur Indonesia selama tiga
tahun terakhir terus mengalami perbaikan. Pada 2012, Indonesia menduduki
peringkat 78 dari 144 negara, 2013 di posisi 61, dan 2014 berada pada peringkat
56. Posisi ini lebih baik jika dibandingkan dengan negara baru berkembang seperti
Vietnam.
Meskipun
demikian, secara Logistic Performance Index (LPI) peringkat Indonesia
tertinggal dengan Vietnam. Hal ini jelas membuktikan, biaya logistik Vietnam
lebih murah dan efisien karena tidak mengalami kemacetan, konektivitas, sertainternational
shipment lebih baik ketimbang Indonesia. Majunya perkembangan infrastruktur
Indonesia, lanjutnya, dapat dilihat dari rel kereta api sepanjang 5.042
kilometer yang merupakan rel terpanjang di antara negara-negara ASEAN, dan
jumlah bandara terbanyak yaitu 676, mengalahkan Tiongkok yang memiliki 497
bandara atau India yang mempunyai 352 bandara.
Dapat
dilihat dari urutan infrastruktur Indonesia yang mengungguli Vietnam yang
menempati urutan 20, namun dalam "Logistics Performance Index" (LPI)
Vietnam yang menempati urutan 48, lebih baik dari Indonesia yang hanya
menempati urutan 53. Ini menunjukkan kondisi infrastruktur Indonesia belum
memberikan efek positif pada kinerja logistik.
Dari
data World Bank tahun 2012, Indonesia berada di bawah Vietnam (5), Filipina
(4), Thailand (3), Malaysia (2) dan Singapura (1). Dengan pertimbangan
kebutuhan dalam negeri yang sudah mendesak dan persaingan investasi, pemerintah
merasa penting untuk semakin memperhatikan sektor infrastruktur dengan
mengadakan berbagai program dan proyek.
Dilihat dari infrastruktur jalan, pembangunan jalan tol Indonesia kalah dengan
Malaysia yang berhasil membangun jalan tol dengan total mencapai 1.230 km, di
China panjang jalan tol mencapai lebih dari 10.000 km dan jalan arteri sekitar
1,7 juta km dengan tingkat kepadatan jalan 1.384 km/1 juta penduduk, hal ini
menunjukan kondisi pembangunan jalan di Indonesia masih jauh dibandingkan
dengan negara lain.
3.4. Good Governance terhadap Infrastruktur di
Indonesia
Sebagai konsekuensi atas
tingginya risiko yang dihadapi oleh swasta, pemerintah menyediakan jaminan
untuk proyek-proyek infrastruktur yang dikerjasamakan melalui skema public
private partnership. Namun perlu disadari bahwa pemberian jaminan ini
menimbulkan adanya kewajiban kontinjensi terhadap APBN. Sementara itu, potensi
kegagalan proyek-proyek infrastruktur sebagai akibat kurangnya good governance
juga akan berdampak pada keuangan negara. Beberapa contoh kelemahan
proyek-proyek infrastruktur berpotensi akan membebani keuangan negara dalam
jangka panjang.
Dalam kerangka program
pembangunan infrastruktur melalui mekanisme Public Private Partnership,
Pemerintah menyiapkan tiga fasilitas keuangan berupa Dana Tanah (The Land
Funds), Dana Infrastruktur (The Infrastructure Funds), dan Dana Penjaminan (The
Guarantee Fund). Dana tanah yang terdiri atas Dana Land Revolving, Land
Capping, dan Land Acquisition dikelola oleh Kementerian Pekerjaan Umum.
Sementara Dana Infrastruktur dikelola oleh PT Sarana Multi Infrastruktur dan PT
Indonesia Infrastructure Finance. Kedua perusahaan di atas didirikan dengan
tujuan membantu investor memperoleh pembiayaan domestik baik dalam bentuk
pinjaman maupun penyertaan modal. Sebagai tindak lanjut pembiayaan pada proyek
KPS, Pemerintah juga mendirikan Guarantee Fund dengan nama PT Penjaminan
Infrastruktur Indonesia (PT PII).
Masalah utama penyebab
terhambatnya proyek-proyek infrastruktur bukanlah masalah pendanaan, namun
lebih ke masalah good governance. Menurut hasil penelitian Syahrir
Ika, investor tidak berminat karena proyek tidak feasible secara
ekonomi, atau investor sudah bersedia berpartisipasi, namun terkendala masalah
regulasi, kurangnya konsultasi publik ataupun kurangnya koordinasi antar
instansi menyebabkan proyek yang feasible terkendala
pelaksanaannya.
Sementara itu, kunci
keberhasilan dalam penerapan good governance adalah adanya
pembagian tugas dan pertanggung jawaban yang jelas antara semua pihak yang
terlibat dalam kemitraan. Untuk itu, salah satu kerangka untuk memperbaiki
permasalahan transparansi, akuntabilitas, tanggung jawab dan independensi,
pemerintah perlu memetakan prinsip-prinsip: (i) responsible, yaitu
dengan menetapkan siapa yang bertanggung jawab secara langsung terhadap
eksekusi program atau proyek yang ada; (ii) accountable dengan
menetapkan lembaga pelaksana yang akuntabel dalam membuat keputusan dan
mengawasi kinerja proyek; (iii) consulted, yaitu penetapan
lembaga tempat berkonsultasi dalam setiap penyelenggaraan sebuah inisiatif agar
tidak bertentangan dengan regulasi yang berlaku, yang dalam hal ini bisa
beraneka ragam jenisnya, seperti pemerintah pusat, pemerintah daerah,
legislatif, kementrian terkait, dan lain sebagainya; dan (iv)informed, yaitu
pihak yang harus diberikan informasi terkait dengan perencanaan dan
pengembangan sejumlah inisiatif tertentu, misalnya: publik, media, dan lain
sebagainya.
Isu lain terkait
dengan public private partnership adalah regulatory
environment, coordination dan project selection.Dalam
konteks regulatory environment, investor melihat perlunya
peraturan yang jelas terkait dengan masa proyek. Hal ini tidak hanya dalam
lingkup peraturan terkait investasi, namun juga sektor, khususnya yang
berkaitan dengan hak atas tanah dan kepemilikan.
Dalam konteks coordination,
adanya desentralisasi dalam pengambilan keputusan dan kurangnya kapasitas dari
pemerintah daerah menciptakan hambatan lain pada investasi infrastruktur. Untuk
itu perlu adanya pembagian kewenangan yang jelas atas berbagai jenis investasi
infrastruktur. Selain itu, ada kebutuhan terkait kesiapan fisik lokal termasuk
bank tanah dan peraturan yang jelas dalam mengakuisisi lahan. Di kementerian
dan lembaga tingkat nasional, pembagian tanggung jawab dan koordinasi juga
penting. Misalnya, ada kebutuhan unit public private partnership
yang memiliki kewenangan untuk mengkoordinasikan proyek-proyek di
seluruh kementerian.
Project selection atau pemilihan proyek
tergantung pada prioritas pemerintah dan pada tingkat apa dapat mendukung
pasar. Untuk itu pemerintah dan swasta juga perlu menyadari isu sektor yang
spesifik. Sektor yang berbeda (air, energi, transportasi) mungkin memiliki
dinamika yang berbeda dan oleh karena itu, struktur proyek mungkin berbeda.
Pertanyaan yang penting adalah apakah kebutuhan sektor yang spesifik tersebut
cukup menarik bagi kalangan investor swasta untuk berinvestasi?
Terakhir, terkait
dengan project preparation, salah satu perhatian adalah lamanya
waktu yang dibutuhkan untuk melakukan transaksi. Seharusnya sebelum
ditenderkan, proyek harus dilengkapi dengan dukungan fasilitas yang terdiri
dari berbagai layanan infrastruktur seperti: pengacara, pemodal dan lain
sebagainya yang diperlukan dalam memperlancar transaksi. Apabila berbagai
fasilitas yang diperlukan dalam transaksi telah dikembangkan sebelum investor
masuk, maka periode proyek dapat diperpendek.
Menghadapi
lemahnya good governance proyek-proyek infrastruktur, maka
dalam rangka meningkatkan efektivitas dalam mengelola proyek-proyek
infrastruktur yang dikerjasamakan melalui public private partnership,
perlu dibentuk public private partnership unit. Hal serupa
telah banyak dilakukan oleh berbagai negara seperti Jamaica, Philippine,
Australia, Afrika Selatan, Korea, Portugal, Banglades, Inggris, dan
lain-lainnya. Public private partnership Unit harus didesain
sesuai dengan permasalahan yang ada, sehingga dapat mengatasi berbagai
kelemahan yang ada dalam proyek-proyek yang dikerjasamakan melalui public
private partnership.
Public Private
Partnership Unit dapat berkontribusi bagi keberhasilan proyek-proyek
infrastruktur apabila unit ini dirancang secara spesifik untuk memperbaiki
kegagalan pemerintahan dalam menjalankan public private partnership.
Unit ini nantinya akan menyediakan layanan yang dibutuhkan oleh pemerintah,
melakukan analisis keuangan proyek public private partnership, dan
harus memenuhi standar umum maupun kebijakan khusus pemerintahan seperti
transparan, pengadaan yang kompetitif, kebijakan fiskal yang prudent,
serta complying terhadap hukum dan peraturan yang berlaku.
BAB VI
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Pembangunan
infrastruktur di Indonesia menjadi salah satu hal yang penting dan fundamental
hal tersebut karena infrastruktur yang baik tentu akan berdampak pada
kesejahteraan masyarakat serta perekonomian nasional. NamunPerkembangan
infrastruktur di Indonesia masih sangat sangat mencemaskan. Pembangunan
infrastruktur dirasakan tidak merata diseluruh wilayah Indonesia. Dapat dilihat
terdapat ketimpangan dalam pembangunan infrastruktur antara Kawasan Barat
Indonesia (KBI) dengan Kawasan Timur Indonesia (KTI), secara umum diketahui
bahwa infrastruktur di Pulau Jawa lebih maju jika dibandingkan dengan
infrastruktur di luar Pulau Jawa.
Keadaan infrastruktur di
Indonesia, yang pertama pada Infrastruktur Jalan, Penyebaran
pembangunan jaringan jalan tidak merata, cenderung terpusat di Pulau Jawa dan Sumatra
serta kurangnya pemeliharaan mengakibatkan kondisi jalan mengakibatkan kondisi
jalan mudah rusak. Yang kedua pada Infrastruktur Listrik, dari tahun ke tahun
konsumsi listrik di Indonesia terus meningkat, baik dari jumlah pelanggan rumah
tangga, kelompok usaha maupun lainnya. Namun peningkatan konsumsi seharusnya
didukung oleh penambahan kapasitas produksi listrik dari pembangunan
pembangkit-pembangkit listrik baru. Sehingga pemadaman akibat kekurangan
pasokan listrik dapat dikurangi, pengadaan
infrastruktur listrik masih belum merata khsusnya diwilayah terluar dan
pedalaman. Yang ketiga pada infrastrutur air bersih, Indonesia
masih saja mengalami kelangkaan air bersihkarena
pengelolaan sumber daya air yang kurang maksimal dan diperparah dengan populasi
penduduk yang terus meningkat dan Sejak tahun 1970-2013, telah terjadi
penurunan permukaan air tanah yang mencapai 80%. Yang ke empat yaitu
Infrastrktur Transportasi, Terjadinya ketidakseimbangan pertumbuhan
jumlah kendaraan dengan pertumbuhan prasarana jalan akibat tuntutan terhadap
kebutuhan angkutan baik itu angkutan pribadi, semi pribadi, dan terutama
angkutan umum jauh lebih besar daripada penyediaan prasarana jalan. Ke lima
menyangkut Infrastruktur Kesehatan, masih sangat kurangnya rumah sakit umum,
dokter spesialis dan kondisi puskesmas yang juga sangat terbatas, hal tersebut
merupakan jumlah yang sangat minim jika dibandingkan dengan Jumlah penduduk
miskin di Indonesia yang semakin bertambah.
Akibatnya pelayanan
kepada masyarakat menjadi kurang maksimal karena sangat terbatasnya
infrastuktur yang tersedia di Indonesia.Kendala utamanya yaitu belum memadainya
aksesibilitas dan jangkauan pelayanan terhadap sarana dan prasarana
infrastruktur antar daerah, kurangnya mekanisme dengan Public Private Partnership
dalam menarik investor, serta kurang baiknya pengelolaan anggaran pemerintah
dalam mengalokasikan infrastuktur yang sangat di butuhkan oleh masyrakat,
khususnya bagi masyarakat miskin.
Rangking infrastruktur
Indonesia saat ini masih menduduki rangking ke-56 dunia dan masih relatif
tertinggal dibandingkan negara-negara inti ASEAN lainnya. Hal ini menunjukan
bahwa pembangunan infrastruktur di Indonesia belum terlaksana secara efektif
sebagaimana mestinya.
4.2 Saran
Pemerintah hendaknya
menjalankan reformasi struktural dari sisi anggaran, mulai dari pengalihan
subsidi bahan bakar minyak (BBM), penghematan anggaran perjalanan dinas dan
rapat hingga mencabut subsidi Premium serta merealisasikan subsidi tetap pada
BBM jenis Solar. Kebijakan tersebut semakin memperlebar ruang fiscal pada APBN
dan mengalihkan penghematan itu kepada infrastruktur demi peningkatan
investasi. Pemirintah dapat mengalosikan dana tersebut pada Infratruktur yang
dapat disentuh oleh masyarakat, khususnya masyarakat yang termajinalkan.
Kedua, Pemerintah dapat
mendorong Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk menopang pembangunan
infrastruktur tersebut. Dintaranya dengan menyuntikkan dana kepada
BUMN karya atau perusahaan pelat merah yang bergerak di bidang
infrastruktur guna mempercepat proses pembangunan infrastruktur.
Ketiga, melalui Public
Privat Partnership (PPP), yakni sebuah
cara modern dalam memfasilitasi penyediaan sektor swasta untuk membantu
memenuhi peningkatan permintaan infrastruktur publik. PPP merupakan
alternatif untuk pengadaan fasilitas oleh pihak sektor publik, menggunakan
pendanaan dari pendapatan pajak atau pinjaman publik. Dalam pengadaan sektor
publik, otoritas publik menetapkan spesifikasi dan desain dari fasilitas,
mencari penawaran atas dasar desain rinci tersebut, dan membayar untuk
konstruksi atas fasilitas tersebut yang dilakumkan oleh kontraktor pihak
swasta. Sehingga pemerintah juga dapat
membangun sendiri infrastruktur yang kemudian diprivatisasi ketika sudah
menarik sehingga swasta dapat terlibat.
Pemerintah
harus melihat kelayakan pembangunan infrastruktur setiap kawasan. Apabila
secara investasi layak, maka pembangunan infrastruktur di kawasan dengan mudah
dapat didanai 100% oleh swasta. Untuk mempercepat pembangunan maka pada
daerah-daerah yang kurang menarik maka pemerintah dapat memberikan subsidi
ataupun insentif. Harus adanya pemerataan pembangunan infrastruktur di Indonesia,
khususnya di wilayah-wilayah terpencil yang minim terhadap akses infrastruktur.
Apabila terjadi pemerataan pembangunan infrastruktur maka akan terjadi peningkatan
kesejahteraan masyarakat serta pertumbuhan ekonomi negara.
Sangat bagus. Akan menambah ilmu bagi yg membacanya
BalasHapusSaran saya lebih fokuskan materi yang anda sajikan sesuai dengan judul artikel yang anda ambil yaitu infrastruktur keairan. Berbicara tentang infrastruktur tentu saja mencakup bagunan2 keairan itu sendiri. Dari sini anda bisa jelaskan apa saja bagunan2 keairan itu sendiri beserta fungsinya sehingga pembaca lebih mudah mengerti lgi.
BalasHapusTerima kasih 😇